
Dalam setiap pelaksanaan upacara perkawin an, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat, karena dalam agama Hindu selain berpedoman pada Kitab Weda (Sruti), umat Hindu juga dapat berpedoman pada Śmrti, dan hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Ācāra. Dengan melakukan upacara yang dilandasi oleh ajaran yang diajarkan dalam kitab suci dan mengikuti tata cara adat yang telah berlaku turun temurun, maka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia ini (jagaditha) dan kebahagiaan yang abadi (Moksa).
Sistem perkawinan yang umum dilaksanakan oleh umat Hindu etnis Bali adalah dengan cara :
A. Memadik/Melamar
B. Merangkat/ Ngerorod.
A. CARA PERKAWINAN MEMADIK
1. Mencari Hari Baik/Padewasan
Mencari hari baik (dewasa) biasanya dilakukan oleh pihak pengantin pria, dengan cara minta petunjuk kepada seorang Sulinggih atau seseorang yang sudah biasa memberikan dewasa (nibakang padewasaan). Adapun dewasa yang diminta biasanya berurutan sesuai dengan acara-acara dalam pelaksanaan upacara perkawinan, antara lain: dewasa pangenten (pemberitahuan), dewasa mererasan (meminang/mapadik), dewasa penjemputan calon pengantin wanita dan dewasa pawiwahan.
2. Pangenten/Pemberitahuan
Pada hari ini orang tua calon pengantin pria datang ke rumah calon pengantin wanita bertemu dengan orang tuanya untuk bermusyawarah mengenai tujuan dari kedua calon pengantin serta meminta persetujuan kepada orang tua calon pengantin wanita tentang hari baik (padewasan sesuai dengan tahapan acara perkawinan), seperti pasobyah (mengumumkan) kepada keluarga besar di masing-masing kedua keluarga calon pengantin dan mengumpulkan keluarga besarnya untuk bisa menyampaikan tentang tujuan keluarga calon pengantin serta memohon bantuannya baik bersifat phisik maupun material.
3. Mererasan/Meminang/Memadik
Pada hari ini keluarga besar dari pihak calon pengantin pria datang ke rumah calon pengatin wanita untuk meminang. Pada saat melamar, kadang-kadang masing-masing keluarga calon pengantin mengungkap atau memaparkan silsilah keluarga. Pada saat melamar pihak keluarga atau wakil keluarga dari calon pengantin laki-laki biasanya mempersiapkan wakil keluarga yang akan menyampaikan silsilah keluarga, jika pihak keluarga pengantin wanita menanyakan tentang silsilah keluarga calon pengantin laki-laki. Mengungkap silsilah keluarga berguna untuk menghindari adanya hubungan sedarah antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita, sehingga apabila hal itu terjadi pernikahan tersebut dapat dicegah sebelum dilangsungkannya upacara pernikahan.
Acara memadik menggunakan upakara. Adapun upakara yang dibawa pada waktu memadik (meminang), antara lain:
Mencari hari baik (dewasa) biasanya dilakukan oleh pihak pengantin pria, dengan cara minta petunjuk kepada seorang Sulinggih atau seseorang yang sudah biasa memberikan dewasa (nibakang padewasaan). Adapun dewasa yang diminta biasanya berurutan sesuai dengan acara-acara dalam pelaksanaan upacara perkawinan, antara lain: dewasa pangenten (pemberitahuan), dewasa mererasan (meminang/mapadik), dewasa penjemputan calon pengantin wanita dan dewasa pawiwahan.
2. Pangenten/Pemberitahuan
Pada hari ini orang tua calon pengantin pria datang ke rumah calon pengantin wanita bertemu dengan orang tuanya untuk bermusyawarah mengenai tujuan dari kedua calon pengantin serta meminta persetujuan kepada orang tua calon pengantin wanita tentang hari baik (padewasan sesuai dengan tahapan acara perkawinan), seperti pasobyah (mengumumkan) kepada keluarga besar di masing-masing kedua keluarga calon pengantin dan mengumpulkan keluarga besarnya untuk bisa menyampaikan tentang tujuan keluarga calon pengantin serta memohon bantuannya baik bersifat phisik maupun material.
3. Mererasan/Meminang/Memadik
Pada hari ini keluarga besar dari pihak calon pengantin pria datang ke rumah calon pengatin wanita untuk meminang. Pada saat melamar, kadang-kadang masing-masing keluarga calon pengantin mengungkap atau memaparkan silsilah keluarga. Pada saat melamar pihak keluarga atau wakil keluarga dari calon pengantin laki-laki biasanya mempersiapkan wakil keluarga yang akan menyampaikan silsilah keluarga, jika pihak keluarga pengantin wanita menanyakan tentang silsilah keluarga calon pengantin laki-laki. Mengungkap silsilah keluarga berguna untuk menghindari adanya hubungan sedarah antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita, sehingga apabila hal itu terjadi pernikahan tersebut dapat dicegah sebelum dilangsungkannya upacara pernikahan.
Acara memadik menggunakan upakara. Adapun upakara yang dibawa pada waktu memadik (meminang), antara lain:
- Pejati, sebagai upakara pesaksi untuk dihaturkan di pemerajan calon pengantin perempuan
- Canang pangraos, ditambah dengan segehan putih kuning asoroh.
- Pagemelan (rarapan) atau saserahan.
Jenis dan jumlah
saserahan ini tergantung pada kesiapan, keseriusan, dan ketulusan keluarga
calon pengantin laki-laki. Seserahan dapat berupa berbagai macam kue,
buah-buahan, dan pakaian (pasaluk).
4. Penjemputan Calon Pengantin Wanita
Apabila calon pengantin wanita tidak diboyong pada saat memadik, maka acara berikutnya adalah penjemputan calon pengantin wanita oleh calon pengantin pria. Pada hari ini calon pengantin pria diikuti oleh anggota keluarga beserta unsur-unsur prajuru seperti ketua banjar, dan sesepuh datang ke rumah keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput calon pengantin wanita. Pada hari ini umumnya pihak calon pengantin pria membawa upakara berupa:
Apabila calon pengantin wanita tidak diboyong pada saat memadik, maka acara berikutnya adalah penjemputan calon pengantin wanita oleh calon pengantin pria. Pada hari ini calon pengantin pria diikuti oleh anggota keluarga beserta unsur-unsur prajuru seperti ketua banjar, dan sesepuh datang ke rumah keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput calon pengantin wanita. Pada hari ini umumnya pihak calon pengantin pria membawa upakara berupa:
- Upakara mamerasan berupa: (1) Pejati asoroh, (2) Canang burat mangi lengawangi, (3) Segehan putih kuning asoroh, dan (4) Canang Pangerawos
- Sarana sebagai Penukar Air Susu dan alas rare (aled rare) berupa: (1) Basan buat, (2) Kain saparadeg, (3) Gelang, kalung, pupuk, dan (4) Handuk.
- Upakara Pengungkab Lawang (jika dilakukan) berupa: (1) Pejati dan suci alit, (2) Peras pengambean, (3) Caru ayam brumbun asoroh, (4) Bayekawonan , (5) Prayascita, (6) Pangulapan, (7) Segehan panca warna, (8) Segehan seliwah atanding, dan (9) Segehan agung.
Pengungkab lawang
merupakan tatanan pelaksanaan perkawinan pada waktu menjemput calon pengantin
wanita ke rumahnya. Ngungkab lawang merupakan acara untuk mempertemukan
pertama kali calon pengantin pria dengan calon pengantin wanita. Acara ngungkab
lawang hanya dilakukan pada upacara perkawinan tingkat utama (Meminang/memadik).
Tujuan dari acara ngungkab lawang adalah untuk menghormati keluarga calon pengantin wanita oleh keluarga calon pengantin pria sehingga hubungan kedua calon pengantin akan semakin harmonis, selaras dan serasi,
Tujuan dari acara ngungkab lawang adalah untuk menghormati keluarga calon pengantin wanita oleh keluarga calon pengantin pria sehingga hubungan kedua calon pengantin akan semakin harmonis, selaras dan serasi,
Ngetok lawang diawali
dengan mengucap- kan pantun oleh calon pengantin pria atau yang mewakilinya
dari luar dan selanjutnya dibalas dengan pantun juga oleh calon pengantin
wanita atau yang mewakilinya dari dalam gedong. Pantun diucapkan saling
bersautan. Setelah calon pengantin wanita selesai mengucapkan pantun, lalu
calon pengantin pria menjemputnya dengan mengetok pintu gedong tiga kali, maka
keluarlah calon pengantin wanita. Untuk memastikan apakah benar wanita yang
dimaksud maka calon pengatin pria membuka kerudung calon pengantin wanita. Selanjutnya
dilakukan pertemuan ibu jari tangan kanan calon pengantin pria dengan ibu jari
tangan kanan calon pengantin wanita dan disertai dengan doa oleh orang yang
ditunjuk oleh pihak calon pengantin Wanita:
B. CARA
MERANGKAT/NGEROROD
Pernikahan secara Ngerorod/Merangkat,
seluruh ritual dan administrasi Nikahnya dilakukan dipihak mempelai Pria.
Adapun urut-urutannya sbb :
DIRUMAH MEMPELAI PRIA
Sesampainya di depan pintu gerbang rumah calon pengantin pria. Kedua mempelai diberikan segehan putih kuning, sebagai sarana penetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif, karena posisi kedua calon pengantin secara spiritual adalah dalam kekuasaan kama.
Setelah kedua pengantin masuk ke halaman rumah, diantar ke depan dapur untuk melaksanakan penyucian kecil, yaitu diperciki tirta pabayekaonan, maprayascita dan terakhir ngayab upakara peras pengambean dan dapetan. Maksud penyucian ini adalah penyucian pertama dari sebel kandelan pengantin.
1. Upacara Perkawinan (Wiwaha Samskara) di Rumah Pengantin Pria
Urutan pelaksanaan upacara perkawinan umat Hindu adalah sebagai berikut:
a. Sarira Samskara (Upacara makala-kalaan)
Upacara makala-kalaan bertujuan untuk penyucian diri, upacara ini ditujukan kepada bhūta kala, di mana kala ini merupakan manifestasi dari kekuatan kama yang memiliki sifat keraksasaan.Kedua penganten dipersonifikasikan sebagai kekuatan kala dan kali yang disebut kala nareswari. Upacara makala-kalaan juga disebut upacara bhūta saksi.
Menurut kitab suci upacara makala-kalaan yang ditujukan kepada para bhūta yang dihaturkan di atas tanah termasuk dalam prahuta. Tujuan dari upacara makala-kalaan adalah untuk menghilangkan segala mala dan menyucikan sukla dan swanita. Selain itu upacara makala-kalaan adalah upacara penyucian kedua pengantin dari segala mala atas perintah Dewa Śiwa.
Selanjutnya upacara makala-kalaan selain bersaksi kepada bhūta kala, juga bersaksi kepada Pertiwi.
Dalam pelaksanaan upacara makala-kalaan digunakan beberapa uparengga (peralatan) sebagai pelengkap upacara. Uparengga yang dipergunakan pada upacara makala-kalaan memiliki fungsi adalah sebagai bahasa isyarat kehadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya serta mengandung nilai-nilai ethika yang sangat tinggi dan dalam. Adapun uparengga yang dipergunakan adalah:
1. Sanggah Surya,
2. Kalabang Kala Nareswari (Kala Badeg),
3. Tikeh dadakan (tikeh kecil),
4.
Benang putih,
5. Tegen-tegenan,
6. Suhun-suhunan (sarana junjungan),
7. Sapu lidi tiga katih ,
8. Sambuk (serabut) kupakan,
9. Kulkul berisi berem
10. Tetimpung
Dalam rangkaian upacara
makala-kalaan ada sarana yang dipergunakan yaitu tetimpug yang dibuat
dari tiga buah potong bambu yang masing-masing ada ruasnya, yaitu lima
ruas atau tujuh ruas. Ketiga potong bambu ini diikat jadi satu kemudian
dibakar di atas tungku bata yang dibuat pada saat upacara makala-kalaan. Makna
yang terkandung di dalamnya adalah secara niskala untuk memanggil para bhūta
kala bahwa upacara segera dimulai.
Kedua pengantin duduk menghadapi upakara dengan posisi duduk pengantin wanita berada di sebelah kiri pengantin pria, kemudian kedua penganten natab banten bayakawonan, dilanjutkan dengan malukat dan maprayascita sebagai pembersihan. Selesai natab bayakawonan dan pembersihan kedua pengantin menuju ke tempat mategen-tegenan. Penganten pria memikul tegen-tegenan sambil membawa sapu lidi tiga biji, sedangkan pengantin wanita menjunjung suhun-suhunan berjalan mengelilingi sanggah surya ke arah purwa daksina (arah jarum jam) dengan posisi penganten wanita di depan mengelilingi sanggah surya sebanyak tiga kali, dan penganten pria mencemeti penganten wanita. Pada setiap putaran, kedua pengantin menendang serabut kelapa (kala sepetan) yang di dalamnya berisi telor, ditutupi dengan serabut kelapa dibelah tiga dan diikat dengan benang tridhatu. Setelah makala-kalaan serabut kelapa tersebut ditaruh di bawah tempat tidur pengantin.
Acara selanjutnya adalah madagang-dagangan. Pada saat madagang-dagangan penganten wanita duduk di atas serabut kelapa, mengadakan tawar menawar hingga terjadi transaksi antara pengantin pria dan pengantin wanita yang ditandai dengan penyerahan barang dagangan serta pembayarannya. Akhir dari madagang-dagangan adalah merobek tikeh dadakan yang dipegang oleh pengantin wanita dengan kedua tangannya, dan pengantin pria mengambil keris kemudian merobek tikeh dadakan tersebut yang diawali dengan menancapkan keris ke tikeh dadakan dan dilanjutkan dengan mengambil tiga sarana kesuburan yaitu keladi, kunyit, dan andong, yang kemudian dibawa oleh kedua pengantin ke belakang sanggah kemulan untuk ditanam.
Acara selanjutnya adalah mapegat, yaitu memutuskan benang yang kedua ujungnya diikatkan pada dua cabang pohon dapdap. Selesai memutuskan benang kedua penganten kemudian mandi untuk membersihkan diri. Mandi untuk membersihkan diri ini disebut ”angelus wimoha’, yang memiliki pengertian dan tujuan untuk melaksanakan perubahan nyomya dari kekuatan asuri sampad menjadi kekuatan Daiwi sampad atau nyomya kala bhūta nareswari agar menjadi Sang Hyang Smarajaya dan Smara Ratih. Sehabis mandi kedua penganten berganti pakaian, dan berhias untuk melakukan upacara dewa saksi di sanggah.
b. Upacara Widhi Widhana / Majaya-Jaya
Upacara widhi widhana/majaya-jaya dilakukan setelah selesai melaksanakan upacara makala-kalaan.
Rangkaian upacara widhi widhana /majaya-jaya ini diawali dengan puja yang dilakukan oleh sang pemuput upacara (Pandita/Pinandita). Setelah sang pemuput upacara selesai mapuja dilanjutkan dengan persembahyangan yang dilakukan oleh kedua pengantin. Sebelum melakukan persembahyangan kedua pengantin diperciki tirta panglukatan dan dilanjutkan dengan tirta prayascita. Persembahyangan diawali dengan puja trisandya, kemudian dilanjutkan dengan panca sembah.
Selesai sembahyang kedua pengantin diperciki tirtha pekuluh dari pemerajan atau pura-pura, dan dilanjutkan dengan memasang bija. Selesai sembahyang dilanjutkan dengan natab banten sesayut (sesayut nganten).
Selesai natab banten sesayut, kedua pengantin diberikan tetebus (benang) dan dipasangkan karawista. Selesai memasang-kan bija dan karawista dilanjutkan dengan mengucapkan sumpah perkawinan oleh kedua mempelai. Kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan surat-surat nikah oleh kedua mempelai dan saksi-saksi.
Kedua pengantin duduk menghadapi upakara dengan posisi duduk pengantin wanita berada di sebelah kiri pengantin pria, kemudian kedua penganten natab banten bayakawonan, dilanjutkan dengan malukat dan maprayascita sebagai pembersihan. Selesai natab bayakawonan dan pembersihan kedua pengantin menuju ke tempat mategen-tegenan. Penganten pria memikul tegen-tegenan sambil membawa sapu lidi tiga biji, sedangkan pengantin wanita menjunjung suhun-suhunan berjalan mengelilingi sanggah surya ke arah purwa daksina (arah jarum jam) dengan posisi penganten wanita di depan mengelilingi sanggah surya sebanyak tiga kali, dan penganten pria mencemeti penganten wanita. Pada setiap putaran, kedua pengantin menendang serabut kelapa (kala sepetan) yang di dalamnya berisi telor, ditutupi dengan serabut kelapa dibelah tiga dan diikat dengan benang tridhatu. Setelah makala-kalaan serabut kelapa tersebut ditaruh di bawah tempat tidur pengantin.
Acara selanjutnya adalah madagang-dagangan. Pada saat madagang-dagangan penganten wanita duduk di atas serabut kelapa, mengadakan tawar menawar hingga terjadi transaksi antara pengantin pria dan pengantin wanita yang ditandai dengan penyerahan barang dagangan serta pembayarannya. Akhir dari madagang-dagangan adalah merobek tikeh dadakan yang dipegang oleh pengantin wanita dengan kedua tangannya, dan pengantin pria mengambil keris kemudian merobek tikeh dadakan tersebut yang diawali dengan menancapkan keris ke tikeh dadakan dan dilanjutkan dengan mengambil tiga sarana kesuburan yaitu keladi, kunyit, dan andong, yang kemudian dibawa oleh kedua pengantin ke belakang sanggah kemulan untuk ditanam.
Acara selanjutnya adalah mapegat, yaitu memutuskan benang yang kedua ujungnya diikatkan pada dua cabang pohon dapdap. Selesai memutuskan benang kedua penganten kemudian mandi untuk membersihkan diri. Mandi untuk membersihkan diri ini disebut ”angelus wimoha’, yang memiliki pengertian dan tujuan untuk melaksanakan perubahan nyomya dari kekuatan asuri sampad menjadi kekuatan Daiwi sampad atau nyomya kala bhūta nareswari agar menjadi Sang Hyang Smarajaya dan Smara Ratih. Sehabis mandi kedua penganten berganti pakaian, dan berhias untuk melakukan upacara dewa saksi di sanggah.
b. Upacara Widhi Widhana / Majaya-Jaya
Upacara widhi widhana/majaya-jaya dilakukan setelah selesai melaksanakan upacara makala-kalaan.
Rangkaian upacara widhi widhana /majaya-jaya ini diawali dengan puja yang dilakukan oleh sang pemuput upacara (Pandita/Pinandita). Setelah sang pemuput upacara selesai mapuja dilanjutkan dengan persembahyangan yang dilakukan oleh kedua pengantin. Sebelum melakukan persembahyangan kedua pengantin diperciki tirta panglukatan dan dilanjutkan dengan tirta prayascita. Persembahyangan diawali dengan puja trisandya, kemudian dilanjutkan dengan panca sembah.
Selesai sembahyang kedua pengantin diperciki tirtha pekuluh dari pemerajan atau pura-pura, dan dilanjutkan dengan memasang bija. Selesai sembahyang dilanjutkan dengan natab banten sesayut (sesayut nganten).
Selesai natab banten sesayut, kedua pengantin diberikan tetebus (benang) dan dipasangkan karawista. Selesai memasang-kan bija dan karawista dilanjutkan dengan mengucapkan sumpah perkawinan oleh kedua mempelai. Kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan surat-surat nikah oleh kedua mempelai dan saksi-saksi.
Acara
selanjutnya Nasehat Perkawinan : Oleh Ketua Adat, Saksi PHDI dan Keluarga kedua
Mempelai. Setelah semua berkas
pernikahan ditandatangani. Dimohonkan kepada semua hadirin mengucapkan doa (Sumpah perkawinan) dan doa perkawinannya sama
dengan Sumpah dan doa yang diucapkan dalam perkawinan dengan tata cara Memadik/Meminang. Yang membedakan
adalah tidak ada doa mengungkap
lawang/Doa restu dari pihak mempelai wanita saat mempelai wanita dipertemukan untuk
diboyong oleh mempelai Pria
c. Majauman
Majauman merupakan rangkaian terakhir dari upacara perkawinan umat Hindu Bali. Majauman merupakan kunjungan resmi yang bersifat religius dari pihak pengantin pria ke rumah pengantin wanita yang dilakukan setelah melaksanakan upacara pernikahan (dewa saksi).
Majauman jika dilihat dari dasar kata ”jaum” di mana fungsi jaum atau jarum adalah untuk merajut atau menyatukan kembali, maka makna majauman dalam rangkaian upacara perkawinan adalah untuk menyatukan kembali dua buah keluarga yang bersitegang (biasanya karena salah satu pihak keluarga tidak merestui karena perbedaan soroh/wangsa/kasta, sehingga diambil cara pernikahan ngerorod/ merangkat). Majauman biasanya dilakukan apabila kedua penganten ngarorod/ merangkat. Arti mejauman adalah menyatukan kembali dua buah keluarga yang tadinya retak atau marah akibat anak gadisnya dilarikan oleh calon pengantin pria.
Majauman juga berarti memberitahukan kehadapan Hyang Guru dan para leluhur dipihak penganten wanita (karena sebelum nya tidak sempat pamit dan tergesa-gesa kabur ne yeee) bahwa kedua pengantin telah menyatu dalam sebuah upacara perkawinan, serta mohon doa restu agar selalu melindungi perkawinan atau rumah tangga kedua pengantin, sehingga selalu dalam keadaan harmonis.
Majauman merupakan rangkaian terakhir dari upacara perkawinan umat Hindu Bali. Majauman merupakan kunjungan resmi yang bersifat religius dari pihak pengantin pria ke rumah pengantin wanita yang dilakukan setelah melaksanakan upacara pernikahan (dewa saksi).
Majauman jika dilihat dari dasar kata ”jaum” di mana fungsi jaum atau jarum adalah untuk merajut atau menyatukan kembali, maka makna majauman dalam rangkaian upacara perkawinan adalah untuk menyatukan kembali dua buah keluarga yang bersitegang (biasanya karena salah satu pihak keluarga tidak merestui karena perbedaan soroh/wangsa/kasta, sehingga diambil cara pernikahan ngerorod/ merangkat). Majauman biasanya dilakukan apabila kedua penganten ngarorod/ merangkat. Arti mejauman adalah menyatukan kembali dua buah keluarga yang tadinya retak atau marah akibat anak gadisnya dilarikan oleh calon pengantin pria.
Majauman juga berarti memberitahukan kehadapan Hyang Guru dan para leluhur dipihak penganten wanita (karena sebelum nya tidak sempat pamit dan tergesa-gesa kabur ne yeee) bahwa kedua pengantin telah menyatu dalam sebuah upacara perkawinan, serta mohon doa restu agar selalu melindungi perkawinan atau rumah tangga kedua pengantin, sehingga selalu dalam keadaan harmonis.
CATATAN :
Kebiasaan pernikahan selama ini di
Bali seluruhnya dilakukan di rumah mempelai Pria, karena biasanya pernikahannya
dilakukan secara Ngerorod/Merangkat. Sehingga pihak mempelai wanita sangat
pasif. Di era yang makin maju, dimana pernikahan antara kedua mempelai sudah
mendapat restu kedua orang tua, sebaiknya pernikahan dilakukan dengan cara
meminang/memadik. Tradisi merangkat/ ngerorod dijaman dahulu dilakukan untuk mensiasati
kakunya sistem soroh/wangsa atau kasta. Pernikahan dengan system
Ngerorod/Merangkat sangat merugikan pihak wanita, Karena hak-hak keperdataan
nya (perlindunganh hukumnya sangat lemah). Di jaman kini dimana pemahaman umat
terhadap sastra Weda sudah semakin baik, dan hak-hak wanita makin mendapatkan
tempat yang layak sesuai amanat kitab suci, maka sebaiknya pernikahan dilakukan saat mempelai wanita mau
diboyong ke rumah mempelai pria (dengan catatan : semua banten Biyakaonan dan Prayascita dibawa
oleh pihak mempelai Pria ) dan sekaligus akad Nikahnya/ administrasi (
surat-surat ) nikahnya diselesaikan sebelum mempelai Wanita diboyong
oleh mempelai Pria, dengan maksud supaya mempelai wanita mempunyai kedudukan hukum yang semestinya. Dalam
hal ini acara ngungkab lawang diutamakan sehingga pada saat mempelai wanita
meninggalkan rumah orang tuanya, secara niskala dan sekala sudah dalam keadaan
bersih dan secara hukum keperdataan (Hukum Negara) juga sudah terjamin. Dan
sekaligus merupakan bentuk penghormatan pihak mempelai pria kepada pihak
mempelai Wanita.